Minggu, 08 Mei 2011

Benteng Vredeburg Yogyakarta


News Session - Benteng Vredeburg adalah sebuah peninggalan bersejarah yang berada tepat di depan Gedung Agung yang sempat menjadi istana Kepresidenan RI, ketika Yogya karta menjadi ibukota negara pada tahun 1946. Di belakang benteng ini juga terdapat sebuah monumen yang dapat mengingatkan kembali akan suasana heroik perjuangan bangsa kita ketika merebut kemerdekaan yaitu Monumen Serangan Umum 1 Maret.

Vredeburg adalah sebuah benteng yang didirikan oleh kolonial Belanda untuk mengamankan pemerintahannya. Ketika itu, yang memimpin pemerintahan kolonial adalah seorang Gubernur Hindia Belanda dan bertempat tinggal di sebuah Gedung Gubernuran yang saat ini kita kenal dengan Gedung Agung. Fungsi pertahanan benteng ini masih dapat kita saksikan sekarang, dimana terdapat sebuah meriam yang diarahkan tepat ke Kraton Yogyakarta. Jika saja Kesultanan Yogyakarta dengan ratusan prajuritnya ingin memberikan perlawanan kepada mereka atau memberontak kepada pemerintahan kolonial, maka mereka siap menyerang Kraton dengan meriam itu. Pada tahun 1949, kekhawatiran pemerintah kolonial itu memang benar-benar terjadi, karena ketika itu para gerilyawan negeri kita telah berkumpul di dalam Kraton, tetapi meriam itu tidak sanggup membungkam para pahlawan kita tersebut.


Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa pada waktu itu. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti adalah Nicolaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouveurneur en Directuer van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.


Benteng peninggalan jaman kolonial yang saat ini telah berubah menjadi museum. Bangunan ini adalah salah satu bentuk nyata politik adu-domba yang dilakukan oleh Belanda pada masa itu, yaitu perpecahan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak). Maka tidak usah heran jika bangunan ini berdiri tidak jauh dari kraton Hamengku Buwono yang berada di sebelah selatanya. Karena memang salah satu strategi yang dilakukan oleh Belanda pada masa itu untuk memantau kegiatan kraton. Benteng ini usianya sudah cukup tua karena dibangun pada tahun 1760. Maka sudah pasti bangunan ini memiliki rancangan bertipe klasik dan khas Eropa sana.

Bentuk yang klasik ini pula yang membuat benteng tampak cantik, tidak usah heran jika tempat ini cukup banyak digunakan sebagai tempat foto pre-weding. Namun kecantikan bangunan ini tidak hanya secara fisik, didalam beberapa bangunan terdapat ruang deorama yang memperlihatkan sejumlah sejarah yang terjadi di Jogja seperti perjuangan Pangeran Diponogoro lengkap dengan patung dan setting tempat, bahkan jika anda memiliki koin seratusan jaman dulu yang berukuran besar tapi tipis, anda bisa mendengarkan audio yang menerangkan tentang diorama lengkap dengan lagu-lagu perjuangan, jadi lumayan enak jika ingin belajar sejarah.

Hal lainya adalah karena bangunan tua dan dibeberapa ruangan diorama cahaya matahari kurang menyinari ruangan, secara otomatis ruangan menjadi lembab dan sedikit pengap. Mungkin untuk beberapa menciptakan kesan horor. Namun tetap musieum ini cukup menarik, selain bentuk benteng yang masih utuh, ada barak prajurit, runag-ruangan kantor, penjara, tempat senjata. Mungkin yang paling penting adalah tiket masuknya yang sanagt miring hanya 1500 saja. Jadi tidak ada salahnya untuk mencoba mengunjungi museum ini.

0 komentar:

Posting Komentar