Selasa, 10 Mei 2011

Mantan-Mantan Presiden Republik Indonesia Yang Tidak Dicatat Sejarah

mungkin masih banyak dari kalian yang beranggapan bahwa indonesia saat ini baru dipimpin oleh enam presiden, yaitu Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan kini presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hal itu ternyata keliru. Indonesia , menurut catatan sejarah, hingga saat ini sebenarnya sduah dipimpin oleh delapan presiden. lho, kok bisa ? Lalu siapa dua orang lagi yang pernah memimpin indonesia ?

Dua tokoh yang terlewatkan itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. keduannya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja, Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh Hatta ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua, sedangkan MR. Assaat adalah Presiden RI saat republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).

Pada tanggal 19 Desember 1948, saat belanda melakukan agresi militer 11 dengan menyerang dan mengusai ibu kota RI saat itu di yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh Hatta, serta para pemimpin indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukti tinggi, Sumatra Barat.

Mr. Sjaruddin Prawiranegara
Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjaruddin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan pada hari minggu tanggal 19 Desemebr 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai seranganja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi Kami menguasakan kepada MR. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Surmatra.

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai kebukit tinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjaruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngrai Sianok Bukit tinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu oemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M.Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalamn bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintah, yang menjadi syarat international untuk diakui sebagai negara".

Pda 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 Km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan". Sjaruddin duduk sebagai ketua atau presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luat Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu MR. T.M Hasan, Mr. S.M Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono danubroto. Adapun Jendral Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjaruddin menyerahkan kembali mandatnya kepad Presiden Soekarno pada tanggal 13 juli 1949 di yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi republik indonesia.

Mr. Assaat
Lahir di sebuah kampung bernama Kubang Putih Banuhampu, pada tanggal 18 September 1904. Memasuki sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke STOVIA Jakarta. Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.

Ketika menjadi student RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".

Dalam kedudukannya menjadi studen (mahasiswa), Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti : Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Syarifuddin dan lain-lainnya.

Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke negeri Belanda. Di Nederland dia memperoleh gelar "Meester in de rechten" (Sarjana Hukum).

Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro Yogyakarta sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi.


Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah dibalik kulitnya kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.


Mungkin generasi sekarang yang berumur 30 sampai 35 tahun, kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia.


Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Acting (Pejabat) Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komidi di Pasat baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Kramat. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 dipindahkan ke Yogyakarta.

Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke Purwokerto, Jawa Tengah. Ketika situasi Purwokerto dianggap "kurang aman" untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr. Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.

Sumber : pengetahuananakkudus.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar